Lawful Or Helpful?
- hana
- Mar 18, 2018
- 4 min read
Moment Of Truth
I Korintus 10:23
"Segala sesuatu diperbolehkan." Benar, tetapi bukan segala sesuatu berguna. "Segala sesuatu diperbolehkan." Benar, tetapi bukan segala sesuatu membangun.
Moment of Grace
"Mama hitung sampai 3, kamu harus sudah turun dari atas lemari itu! Satu...dua...tiga..." Mungkin cara ini dilakukan oleh hampir semua orangtua secara turun-temurun. Cara yang dilakukan berulang-ulang untuk 'menertibkan' anak kecil, dipercaya efektif, walaupun kadang-kadang tidak juga. Tanpa diduga, kadangkala anak-anak justru melihat ada kesempatan yang cukup untuk dinikmati sebelum Mama sampai pada hitungan ke-3.
Selain angka cantik tersebut, ada kata yang menarik hati anak-anak, yaitu kata: "Jangan!" Makin serius wajah kita berkata,"Jangan!", makin menarik hati anak untuk melakukannya. Saya ingat pada seorang murid, ketika itu usianya sekitar 4 tahun. Dengan hati-hati saya mengatur kursi dengan jarak yang aman dari meja, serta menjelaskan aturan aktivitas kami. Hari itu, kami akan membuat waffle dengan panggangan hello kitty. Walaupun saya sudah memberi kesempatan anak-anak membuat adonan dengan telur, tepung, dan susu, rupanya 1 hal 'jangan', tetap sulit untuk dilewatkan. Peringatan: "Jangan pegang kompor dan panggangan karena panas", mungkin kedengarannya seperti, "Halo, peganglah kompor dan panggangan ini." Maka Olie, dengan mata berbinar, secepat kilat mencolek panggangan....dan....ujung jari mungil itu pun jadi merah. Meskipun hal itu menjadi pelajaran berharga bagi dia tentang ketaatan, dan saya sudah mengoleskan salep untuk menyembuhkannya, tetap ada rasa menyesal atas peristiwa itu.
Peraturan mustinya menjadi sebuah pagar dan penolong untuk menjaga anak-anak dan kita dari bahaya. Peraturan/hukum, mustinya helpful. Saya teringat pada pembahasan Lawful atau Helpful yang disampaikan oleh Pdt. Joshua Lie berdasarkan I Korintus 10:23. Rasanya, cara pandang ini relevan juga dalam kita mengasuh anak. Tentunya, kita terus-menerus bergumul untuk mendisiplin dan membangun peraturan yang efektif untuk menolong anak. Hmm....bagaimana cara kita selama ini menerapkan peraturan kepada anak-anak kita?
Jika semata-mata benar dan hanya demi tidak melanggar peraturan, anak yang menunda turun dari lemari hingga kesempatan terakhir, berakhir dengan selamat dari hukuman. Masih aman karena tidak melewati '3', yang menjadi batas aturan Mama. Namun, lain kali, bisa jadi Mama akan perlu lebih lama berhitung, mungkin sampai 5....atau 10.... hingga anak menaatinya. Sayang sekali, aturan yang dimaksudkan untuk 'menolong', tidak sampai sesuai dengan harapan.
Celakanya, celah kesempatan itu bahkan dapat kita temui pada anak belasan tahun. Saya mendapatinya beberapa tahun yang lalu. Waktu itu seorang anak baru masuk di sebuah SMP dan mengikuti acara bagi anak-anak tahun pertama. Ketika turun dari tangga, sebuah tangan yang gesit dari tubuh remaja yang tinggi, menarik tangannya ke tempat duduk. Kakak kelas yang 4 tahun lebih tua itu, dengan alasan 'bercanda' menawarinya rokok. Meski kaget, bersyukur anak kelas awal itu lekas berdiri dan lari. Lepas hari itu, guru-guru menangani kasusnya.
Menarik untuk mengamati cara mereka, guru dan murid senior tersebut, memandang tentang peraturan. Sekolah menyusun peraturan yang memberi bekal sejumlah point di setiap awal tahun ajaran. Selama 2 semester, untuk setiap pelanggaran, point anak akan dipotong. Pada suatu titik kritis, akan ada konsekuensi, misalnya: anak akan dikirim merenung ke sebuah panti jompo. Jelas, anak kelas atas tersebut point-nya dipotong dan menuju titik kritis. Mendengar itu, saya bertanya, "Maaf Pak, anak tersebut kan tidak menarik tangan seorang Oma atau Opa dan menawari mereka rokok, apa ya hubungan konsekuensi ini dengan tindakan anak tersebut?" Hmm...apakah konsekuensi ini helpful? Apakah hal ini dapat menolong untuk mengoreksi anak, memperbaiki dirinya? Saya pikir, akan lebih menolong, jika anak senior tersebut meminta maaf kepada adik kelas tersebut dan bertugas menyambut di pintu masuk, berlatih berkata-kata ramah serta memberkati seluruh adik kelas selama 2 minggu. Dengan cara itu, anak senior tersebut tidak membuat adik kelas cemas lagi dan berlatih bersikap baik. Selama waktu yang lama, sulit bagi saya untuk berbelaskasihan dan memandang anak senior tersebut dengan anugerah. Sungguh sedih mendengar lebih lanjut bahwa anak senior tersebut sudah terbiasa melanggar peraturan dan sangat piawai menghitung point sehingga tidak melewati batas kritis. Hmm....Lawful or Helpful?
Suka atau tidak, kisah-kisah di atas adalah cerminan kita, manusia berdosa. Dosa mengarahkan hati anak-anak untuk menabrak pagar peraturan, menentang otoritas, dan memilih ketidaktaatan. Dosa menguasai hati anak-anak (dan kita). Anak-anak (dan kita) sungguh membutuhkan anugerah Tuhan untuk membebaskan mereka (dan kita juga) dari kuasa dosa.

Paul Tripp mengingatkan kita bahwa inilah waktunya para orangtua ingat untuk tidak mengandalkan kekuatan sendiri. Inilah waktunya untuk menyerahkan hati kita pada anugerahNya dan memimpin hati anak-anak kita untuk percaya pada anugerahNya.
Menjelang peringatan Jumat Agung dan Paskah, kita makin menghargai anugerah yang Tuhan limpahkan bagi kita. Lawful dan Helpful dipenuhi dengan sempurna melalui pengorbanan dan kemenanganNya. Hukuman dosa, Yesus tanggung bagi kita. Oleh anugerahNya, kita dan anak-anak diselamatkan, dibebaskan dari kuasa dosa, dan dipulihkan.
Ketika kembali mengasuh anak-anak, saya harus sungguh-sungguh ingat siapa saya. Saya, orang yang sudah beroleh anugerah Tuhan. Apakah ketika menerapkan peraturan/ hukum bagi anak-anak, saya sungguh-sungguh tidak lupa memandang mereka dengan anugerah? Apakah melalui hidup saya, cara dan peraturan yang saya terapkan dalam mengasuh mereka, anak-anak merasa dituntun kepada anugerah Tuhan ? Bagaimana dengan Anda?
Sungguh, sebuah pengalaman penuh anugerah......
Lamb Of God
Let's Make Every Moment Count!
Mari mengambil waktu untuk bercakap-cakap dengan anak tentang peraturan-peraturan yang kita tetapkan. Mari gunakan kesempatan ini untuk menyampaikan bahwa kita, orangtua, juga menaati Tuhan dan bertanggung jawab kepada Tuhan dalam mengasuh dan menjaga mereka. Berilah penjelasan bahwa peraturan-peraturan tersebut bersumber dari Perintah Tuhan.
Sebagai contoh, peraturan kita tentang penggunaan gadget. Bagaimana cara kita menjelaskan kepada anak alasan di balik peraturan tersebut? Salah 1 ilustrasi yang baik (dari bagian ke-21) dari buku Kebenaran Utama Bagi Anak, tulisan Susan Hunt dan Richie Hunt, (http://www.momentum.or.id/index.php/mod_detil/11500005/en/ ) dapat menjadi salah 1 cara membuka percakapan kita dengan anak-anak:

"Seorang anak perempuan bernama Cassie menginginkan sebuah boneka baru dengan bajunya yang cantik. Ia sangat ingin, sehingga seluruh pikiran, waktu, dan uangnya tertuju untuk dapat membeli boneka itu. Bahkan, Cassie menjadi enggan memberikan perpuluhan dari uang sakunya untuk persembahan kepada Tuhan. Setelah beberapa waktu, Cassie bertanya, "Ma, apakah boneka itu telah menjadi berhala bagiku?" Mama menjawab," Mama telah berdoa agar kamu dapat memikirkan hal itu. Tidak ada yang salah dengan menginginkan boeka itu dan bekerja keras untuk memperolehnya. Namun, kita harus berhati-hati agar tidak sampai membiarkan satu hal pun menjadi terlalu penting, sehingga kita mengasihinya lebih daripada Allah dan umatNya....."
Kisah ini ditulis untuk membahas Perintah ke-2 dari 10 Perintah Allah.
Setelah bercerita, mungkin dalam altar keluarga, kita dapat meminta anak-anak berkomentar tentang Cassie. Kemudian, kita dapat bertanya,"Hal-hal apa sajakah yang dapat menjadi berhala dalam hidup kita?" Dengan menyebut 'kita', mari bersiap untuk juga membuat komitmen bersama anak-anak untuk menaati Perintah Allah. Kesempatan baik terbuka bagi kita untuk menjelaskan alasan dari peraturan keluarga kita tentang gadget.
Selamat mencoba. Tuhan memberkati.
Commentaires